Jurisdiction Collective Action Forum, Dialogue #6:

Jakarta, 8 Februari 2022 – Saat ini pendekatan yurisdiksi (jurisdical action/JA) dilaksanakan untuk mendorong pembangunan yang mencakup perlindungan hutan, produksi komoditas yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat melampaui beragam sektor komoditas dan pihak. Lewat Forum Jurisdiction Collective Action (JCAF), para pelaku bisnis, pemerintah nasional maupun regional serta civil societies saling berbagi pengetahuan dan pengalaman strategis dalam implementasi penerapan pendekatan yurisdiksi yang beragam di Indonesia dan Malaysia.

Dihadiri oleh lebih dari 950 peserta, JCAF menyediakan ruang untuk para pihak berkontribusi ide yang konstruktif dalam mengidentifikasi tantangan, peluang, dan prioritas untuk mendukung pemerintah dalam mencapai penurunan deforestasi.

JCAF secara konsisten menghadirkan pemangku kepentingan strategis, baik dari pemerintah, nasional maupun sub-nasional serta perusahaan dan masyarakat dari sektor komoditas untuk membahas beragam prioritas lintas sektoral dan secara multi-pihak yang telah berjalan di beberapa yurisdiksi di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Secara khusus, JCAF kali ini membahas pentingnya peran pembiayaan guna mendorong masuknya investasi hijau pada sebuah yurisdiksi untuk mendorong tercapainya target rendah karbon (Low Carbon Development Indonesia (LCDI) yang selaras dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam JCAF #6 kali ini dihadiri oleh 234 peserta yang membahas tentang pola kolaborasi dalam pembentukan kelembagaan institusi pada tingkat tapak, dukungan asistensi untuk petani serta komitmen pemerintah daerah untuk dorong masuknya investasi hijau. Dari para pembicara kita mengetahui telah banyak sinyalemen pasar dan produsen untuk mengedepankan faktor lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) menunjukkan meningkatnya minat investor terhadap investasi yang berkelanjutan.

Inisiatif Dagang Hijau (IDH), sebagai penyelenggara JCAF #6 melalui Direktur Program, Nassat D. Idris, membuka diskusi dengan memberikan konteks kebutuhan pembiayaan campuran yang dikelola secara terintegrasi untuk mewujudkan visi bentang alam berkelanjutan. IDH bersama mitra lainnya sedang membangun model yurisdiksi berkelanjutan di 6 Provinsi fokus termasuk Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Papua, dan Papua Barat yang diidentifikasi memiliki berbagai nilai sebagai penghasil komoditas perkebunan dengan rantai pasok global dan sekaligus memiliki nilai keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan lainnya serta keterlibatan masyarakat sebagai aktor utama dalam rantai pasok. IDH bersama Pemerintah dan mitra pembangunan lainnya membangun visi bentang alam berkelanjutan yang dituangkan dalam rencana pertumbuhan hijau berbasiskan komponen produksi, proteksi, dan inklusi. Dalam rencana pertumbuhan hijau tersebut telah diidentifikasi peluang investasi hijau. Namun, sebagian besar kondisi portofolio investasi yang ada masih dalam tahap inkubasi yang memerlukan kombinasi investasi untuk kondisi pemungkin (enabling) dan investasi aset untuk menjadi portofolio yang dapat memberikan dampak kepada peningkatan kesejahteraan dan lingkungan hidup.

Selama pemulihan pandemi Covid-19, juga diperlukan dukungan finansial serta pembangunan infrastruktur yang memadai. Perlu dipastikan pengadaan infrastruktur jadi kebutuhan dasar rencana pembangunan jangka panjang tahun ini, menurut CEO PT SMI Edwin Syahruzad.

“Kami sedang mempersiapkan diri untuk mendukung Indonesia sebagai penyelenggara G20 melalui serangkaian tema dan isu prioritas yang diamanatkan oleh Bapak Presiden, yaitu mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan melalui transisi energi dengan mendorong keterlibatan swasta di B20, di sektor Energy, Sustainability, & Climate Business Entities, Associations, & Think-Tank dalam mengakselerasi pencapaian SDGs. Meskipun saat ini skema PT SMI masih terfokus pada pendanaan untuk sektor infrastruktur, namun dengan masuknya dana Green Climate Fund, kami kini mempelajari pengembangan program di sektor land-use dan potensi untuk menghubungkan pengelolaan proyek di tingkat yurisdiksi dan kemungkinan mengembangkan blended finance ke sektor pertanian kedepannya.” Edwin juga menambahkan komitmen dan juga kepemimpinan Pemerintah Daerah adalah faktor kunci terselenggaranya Kolaborasi PPP di tingkat sub nasional.

Ada beberapa skema pembiayaan dan investasi untuk kegiatan ‘hijau’ yang tersedia di tingkat nasional yang dapat di akses di daerah.

Indra Darmawan, Penasihat Senior Ekonomi Kementerian Investasi/BKPM mengatakan, pemerintah memiliki berbagai perangkat fiskal dan dana melalui organisasi anggaran sektoral atau kementerian terkait. Fasilitas pembiayaan ini sudah tersedia di tingkat nasional dan dapat digunakan oleh pemerintah daerah juga. Contohnya, Pemerintah mendanai 27% dari total $365 miliar untuk mencapai target NDC antara 2020-2030 diikuti potensi sektor swasta berkontribusi hingga 33%.

Anggaran Pemerintah provinsi termasuk beberapa hibah khusus seperti DAK Fisik/non-Fisik, dan Dana Desa serta metode transfer fiskal ekologis, juga tersedia dalam dana APBN.

“Diperlukan stimulasi untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah-daerah dan melibatkan sejumlah besar investor melalui kemitraan antara banyak pihak, pemerintah dan non-pemerintah. Ini momentum yang baik. Pemerintah daerah dengan sektor lokal dapat membentuk mekanisme kerja sama pemerintah-swasta untuk dapat mendorong pembangunan berkelanjutan di daerah-daerah dimana kita sangat terbuka untuk adanya pengembangan dan perbaikan ke depan.” Tegas Indra Darmawan.

Direktur Eksekutif Bumitama Agri Christina Lim berpendapat pelaku bisnis harus dapat menghubungkan upaya konservasi dengan valuasi ekonomi agar masyarakat sekitar dapat mandiri dan berkelanjutan. Beberapa program berbasis masyarakat yang didorong oleh Bumitama salah satunya lewat program sertifikasi petani kecil dan pre-financing to plasma. “Saat ini bisnis tidak lagi membicarakan tentang bisnis melainkan mendorong konservasi berbasis komunitas dengan melakukan engagement yang dapat diterapkan dan direplika oleh wilayah lain yang juga membuka kesempatan bagi stakeholder dan juga investasi masuk agar dapat di-scale up.” jelas Christina.

Webinar JCAF Dialogue #6 kali ini bertujuan untuk mewadahi dialog yang konstruktif dan berbasiskan solusi untuk mempererat kolaborasi mendorong pertumbuhan Indonesia yang rendah karbon lewat berbagai prioritas. Aksi kolektif yurisdiksi virtual dialog putaran keenam ini diselenggarakan bersama Inisiatif Dagang Hijau (IDH) yang akan membagikan pembelajaran model pendekatan lanskap berdasarkan rantai komoditas berkelanjutan yang membawa kemajuan pada tata kelola, transformasi bisnis, dan kegiatan tingkat lapangan juga sebagai tantangan dalam mengembangkan dampak proyek dalam skala besar. Pengetahuan saat ini di antara para peserta tentang praktik berkelanjutan dengan hutan dunia menjadi beberapa isu yang memotivasi mengenai Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS), modal intensifikasi yang proporsional dan peluang untuk meningkatkan potensi kelayakan untuk sumber produksi yang diverifikasi dan keuangan di rantai pasokan yurisdiksi regional.

IDH dengan mitra global saat ini mengembangkan model Rencana Pertumbuhan Hijau yang menghubungkan pasar global (Eropa, Belanda) dengan entitas nasional, provinsi, atau lokal dan swasta pada area produksi. Di Asia Tenggara, sektor publik memegang tanggung jawab utama untuk pemberian layanan dan sektor swasta menyediakan layanan, dengan demikian berbagi risiko dan imbalan, untuk mencari dukungan dari proses hingga kinerja melalui cara yang saling melengkapi. Hasil gabungan akan membuktikan transformasi perjalanan sederhana, mekanisme efektif bagi konsumen untuk mengklaim sumber daya berkelanjutan yang diverifikasi dan dampak nyata dan nyata untuk investasi. Bagi para pemimpin Yurisdiksi, Kerja sama pemerintah-swasta (PPP) dapat menjadi peluang penting untuk mengembangkan potensi wilayah mereka sebagai elemen tambahan dari proposisi nilai global, serta memberi penghargaan kepada yurisdiksi yang berkinerja progresif.

Sementara itu di tingkat Kabupaten, Pemerintah siap untuk menjalankan skema blended finance dan bermitra dengan pihak swasta untuk mengolah dana luar selain pendanaan lokal seperti dana APBN, APBD provinsi dan kabupaten, ADD untuk meningkatkan kontribusi PDRB Kab Kubu Raya yang saat ini sebesar 29,1T

Strategi kepung bakul dilakukan untuk mendorong kolaborasi antara SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan petani kecil guna membangun ekonomi hulu hingga hilir dan memetakan isu lewat skema zonasi untuk hindari intervensi ganda dan tepat sasaran.

Secara Geografis, Kabupaten Kubu Raya terletak di sisi Barat Daya Provinsi Kalimantan Barat dan merupakan pintu gerbang Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Kubu Raya terdiri dari 9 kecamatan, 118 desa dan 5 desa persiapan dengan Sungai Raya sebagai Ibu Kota Kabupaten. Lokasi ini menjadikan Kabupaten Kubu Raya memiliki potensi di bidang pertanian dan hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kehutanan, serta kawasan hutan mangrove yang terluas di Kalimantan Barat.

Pasca berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, kewenangan bidang kehutanan berada di tingkat provinsi, sedangkan kabupaten tetap memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dinamika permasalahan kawasan hutan memberikan tantangan tersendiri dalam perencanaan pembangunan di Kubu Raya.

“Perubahan pola pemanfaatan pasca logging bertujuan untuk mencari solusi pemanfaatan hutan dengan skema Perhutanan Sosial. Tercatat kurang lebih 32 izin Hutan Desa yang ada di Kubu Raya, namun keberadaan perizinan ini belum optimal dalam meningkatkan IDM desa-desa di sekitarnya. Secara kemitraan, pemerintah Kubu Raya terus memfasilitasi penerbitan perizinan Hutan Desa dan peningkatan kapabilitas Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) guna memberikan akses kepada masyrakat dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan sekaligus melaksanakan SDGs kita mengejar ekonomi, investasi boleh masuk tapi lingkungan harus tetap kita jaga.” Jelas Kepala BAPPEDA Kubu Raya, Amini Maros.

Upaya kepong bakol atau gotong royong melalui penjaringan mitra pembangunan dan pemegang kewenangan guna memperkuat pendampingan terhadap masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Keterbatasan APBD membuat pemerintah berinovasi mencari alternatif pendanaan dan membuka peluang investasi hijau berdasarkan potensi yang ada di Kubu Raya.